Korea Utara menandai pengiriman 250 peluncur rudal berkemampuan nuklir ke unit militer garis depannya melalui sebuah upacara di Pyongyang pada Minggu (4/8/2024).
Dalam kesempatan itu, Kim Jong Un menyerukan perluasan program nuklir militer yang tiada henti untuk melawan ancaman Amerika Serikat (AS).
Kantor Berita Pusat Korea Utara (KCNA) seperti dilansir kantor berita AP, Senin (5/8), melaporkan peluncur tersebut baru saja diproduksi oleh pabrik amunisi dalam negeri dan dirancang untuk menembakkan rudal balistik “taktis”, sebuah istilah yang menggambarkan sistem yang mampu meluncurkan senjata nuklir berkekuatan rendah.
Kim Jong Un menuturkan pada Minggu peluncur-peluncur tersebut akan memberikan unit garis depannya daya tembak yang luar biasa atas Korea Selatan dan membuat pengoperasian senjata nuklir taktis lebih praktis dan efisien.
Korea Utara telah memperluas jajaran senjata jarak pendek mobile-nya yang dirancang untuk mengalahkan pertahanan rudal di Korea Selatan, sementara pada saat bersamaan mengupayakan rudal balistik antarbenua yang dirancang untuk mencapai daratan AS.
Uji coba senjata dan ancaman Kim Jong Un yang semakin intensif secara luas dipandang sebagai upaya untuk menekan AS agar menerima gagasan Korea Utara sebagai negara berkekuatan nuklir dan mengakhiri sanksi atas program nuklirnya. Para ahli meyakini, Korea Utara juga berupaya meningkatkan ketegangan jelang Pilpres AS.
Juru bicara Kepala Staf Gabungan Korea Selatan Lee Sung Joon mengatakan militer Korea Selatan dan AS sedang menganalisis secara saksama pengembangan senjata Korea Utara dan pemantauan lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi kesiapan operasional sistem rudal yang dipamerkan pada hari Minggu. Dia tidak memberikan penilaian khusus mengenai apakah sistem tersebut dapat ditempatkan.
Lee menyebutkan rudal tersebut kemungkinan memiliki jangkauan yang lebih pendek daripada beberapa rudal balistik jarak pendek terkuat Korea Utara, yang telah menunjukkan kemampuan untuk menempuh jarak lebih dari 600 kilometer.
Kim Jong Un ke Barat: Pilihannya Dialog Atau Konfrontasi tapi
Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir telah mengungkapkan rudal baru yang disebut Hwasong-11, yang menurut para analis dapat menempuh jarak hingga 100 kilometer. Jika ditempatkan di daerah garis depan, rudal tersebut secara teoritis akan dapat mencakup wilayah yang sangat luas di wilayah ibu kota Korea Selatan, tempat tinggal sekitar setengah dari 51 juta penduduk negara tersebut.
Dalam pidatonya pada hari Minggu, Kim Jong Un meminta negaranya untuk bersiap menghadapi konfrontasi berkepanjangan dengan AS dan mendesak perluasan kekuatan militer tanpa henti. Dia membenarkan peningkatan kekuatan militernya sebagai perlawanan terhadap kerja sama militer yang “semakin brutal” antara AS dan sekutu regionalnya, yang menurutnya kini menunjukkan karakteristik blok militer berbasis nuklir.
“Pilihan kita adalah untuk mengejar dialog atau konfrontasi, tetapi pelajaran dan kesimpulan kita dari 30 tahun terakhir … adalah bahwa konfrontasi adalah hal yang harus kita persiapkan dengan lebih matang,” kata Kim Jong Un.
“AS yang kita hadapi bukan sekadar pemerintahan yang datang dan pergi setelah beberapa tahun, tetapi negara bermusuhan yang akan dihadapi anak cucu kita dari generasi ke generasi dan itu juga menggambarkan perlunya untuk terus meningkatkan kemampuan pertahanan diri kita.”
Kim Jong Un juga mengatakan keputusan untuk mengadakan upacara peresmian senjata saat negara itu mencoba pulih dari banjir yang dahsyat menunjukkan tekadnya untuk terus maju dengan penguatan kekuatan kemampuan pertahanan nasional tanpa stagnasi dalam keadaan apa pun.
Banjir pada akhir Juli merendam ribuan rumah dan lahan pertanian yang luas di wilayah dekat perbatasan dengan China.
Rusia telah menawarkan bantuan banjir kepada Korea Utara, sebagai tanda lain dari perluasan hubungan antara kedua negara. Kim Jong Un telah menjadikan Rusia sebagai prioritasnya dalam beberapa bulan terakhir saat dia mendorong kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk memperluas hubungan dengan negara-negara yang berhadapan dengan Washington, merangkul gagasan “Perang Dingin baru”, dan mencoba menunjukkan front persatuan dalam konflik Putin yang lebih luas dengan Barat.